Minggu, 07 September 2008

OEMAR DAHLAN , SI PEJUANG DENGAN PENA MENINGGAL

Sekitar pukul 16:00 Wita terbangun tidur dan segera mengaktifkan HP, kemudian terdengar bunyi nada dering. Ternyata dari seorang rekan, Intoniswan yang mengabarkan bahwa H. Oemar Dahlan meninggal dunia sekitar pukul 14:00 Wita yang rencananya dimakankan Minggu pagi (7/9).

Segera terbayang, sosok orangtua yang bisanya kemana-mana jalan kaki atau naik ojek, berbaju putih, berkopiah, berkaca mata minus tebal sambil membawa tas kulit mirip punya "guru Oemar Bakri" (lagu Iwan Fals).

Terakhir bertemu mungkin sekitar satu tahun silam, terlihat almarhum tidak mengeluhkan sakit apa-apa. Bahkan, luar biasanya daya ingatnya masih kuat.

Ia mengaku bahwa apabila tidak melakukan apa-apa (menulis atau jalan-jalan ke luar rumah) justru merasa lebih cepat lelah.

Di dalam tas hitamnya, terdapat berbagai dokumen serta kliping koran berumur puluhan tahun. Misalnya, salah satu kliping koran itu terbitan tahun 1950. "Ini salah satu koran hasil wawancara saya dengan Bung Karno," katanya sambil memperlihatkan salah satu kliping koran yang tampak sudah sangat lesuh.

Salah satu tulisan di "head line" di koran itu bertuliskan pernyataan Bung Karno. "Kemerdekaan boekan djaminan bahwa segala sesoeatoe akan mendjadi beres. Kemerdekaan sekedar memberikan kemoengkinan untuk keberesan itu. Kemoengkinan itu tidak ada dalam alam pendjadjahan".

Amanat tertulis Bung Karno yang ditulis di atas kertas "block note" (buku saku), wartawan Oemar Dahlan itu hasil wawancara dengan Sang Proklamator pada 17 September 1950 itu kemudian diterbitkan di halaman depan salah satu koran besar di Kalimantan Timur kala itu, "Masjarakat Baru".

Wawancara langsung dengan Bung Karno saat itu berlangsung di Pelabuhan Samarinda, saat Sang Proklamator akan meninggalkan Samarinda menggunakan pesawat Catalina yang bertambat di Sungai Mahakam akan menuju Balikpapan.

Selain melakukan wawancara ia sempat meminta agar Bung Karno menuliskan satu kalimat yang akan menjadi amanah bagi warga Kaltim yang akan ditampilkan di halaman depan koran tersebut.

Sebelum kemerdekaaan, sebagai wartawan muda, Oemar sudah ikut dalam berbagai pergerakan menuntut kemerdekaan Indonesia.

Setelah menderita sakit, tokoh pers Indonesia dan pejuang kemerdekaan itu meninggal dunia di Samarinda dan meninggalkan sejumlah dokumen dan hasil karya jurnalistik pada hari-hari terakhir di usianya yang ke-95 tahun.

Pria kelahiran Samarinda 1913 itu tercatat sebagai wartawan paling senior yang masih berkarya sampai usianya 95 tahun sehingga ia dikenal juga sebagai "wartawan lima zaman", dari zaman perjuangan melawan Belanda, Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi.

Ia terlibat berbagai pergerakan dalam membebaskan diri dari penjajah meskipun bukan secara fisik memanggul senjata namun melalui tulisan-tulisannya di berbagai media massa kala itu.

Almarhum Oemar Dahlan juga dikenal sebagai sahabat karib mantan Wapres, almarhum Adam Malik yang ketika itu sama-sama mendirikan Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) sebagaimana diakui oleh Adam Malik dalam suratnya tertanggal 23 Pebruari 1981 yang menyatakan bahwa Oemar Dahlan adalah salah seorang pendiri dan penegak partai Gerindo untuk daerah Kalimantan.

Berbagai pergerakan menantang penjajah ia ikuti sehingga Pemerintah Belanda pernah membujuk Oemar agar mau "menyeberang". Ia ditawarkan duduk dalam delegasi Kalimantan Timur ke Konferensi "Bizonder Federal Overleg (BFO) di Bandung pada 1948.

Namun, Oemar muda dengan tegas menolaknya karena tahu maksud Belanda dalam BFO itu untuk membungkam pergerakan melalui politik pecah belah untuk membuat negara federasi.

karena tulisannya memperjuangkan kemerdekaan, Oemar muda pernah dua kali menghadapi delik pers dan didenda 75 gulden, yakni saat sebagai Redaktur harian "Pewarta Borneo" pada 1935 dan saat menjadi "Hoofdredacteur" (Pimred) "Pantjaran Berita" (koran nasional) pada 1940. Bila tidak dibayar denda itu, maka ia menggantikan dengan hukuman tiga bulan kurungan. Vonis Landraat Samarinda dijatuhkan pada 1 April 1940.

Tiga kali Oemar naik banding (revisi) ke Raad Van Justitie (RVJ) di Surabaya namun vonis RVJ memperkuat vonis Landraat Samarinda pada 5 Juli 1940 No. 440/R/Ia, Oemar terpaksa bersusah payah mencari uang sampai menjual harta benda untuk membayar denda 75 gulden karena gajinya sebagai Pimred koran nasional "Pantjaran Baru" hanya 15 gulden.

Pembayaran denda peradilan Penjajah Belanda itu dibuktikan dengan selembar kwitansi tanggal 30 Juli 1940 yang menjadi "zimat" yang sebelumnya selalu dibawa kemana-mana selama 60 tahun.

Oemar muda tidak selalu melawan Belanda melalui tulisan, namun kadang-kadang lewat pertunjukan tonilnya, atau pembacaan puisi puisi dari panggung ke panggung. Selain itu dia aktif pula bekerja di surat kabar baik yang terbit di Kalimantan maupun tanah Jawa.

Dalam hidupnya Oemar Dahlan pernah mendapat penghargaan dari Komando Resort Kepolisian 1402 Samarinda tahun 1975 sebagai wartawan teladan.Dari rektor Unmul pada tahun 1980, Dari Pimpinan Pusat Legiun Veteran (LVRI) Jakarta pada tahun 1982 sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan. Dari PWI dan SPS Kalimantan Timur sebagai wartawan teladan di tahun 1985, dari DPD Golkar Tk.I Kaltim tahun 1986, Dari Walikota Samarinda pada tahun 1987 sebagai tokoh Pers dan masyarakat Samarinda.
Satya Lencana LVRI Jakarta pada tahun 1989, Dari Gubernur dan DPRD Kaltim sebagai tokoh masyarakat tahun 1990. Dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jakarta dengan sebuah Medali Perjuangan Angkatan 45 pada tanggal 10 Nopember tahun 1990. Dan terakhir dari Gubernur Kaltim selaku Sesepuh Pers di Kalimantan Timur di tahun 1993.

Penghargaan yang diterima Oemar Dahlan adalah pengakuan akan keberadaan dan perbuatannya baik disaat menegakkan kemerdekaan maupun pada zaman pembangunan.
Pada suatu ketika Oemar juga pernah berkata "menjaga dan memelihara kemerdekaan itu adalah sesuatu tantangan yang tak gampang", kata tokoh yang saat meninggal dunia masih mendiami rumah sederhana tanpa ada perabot mewah.

Oemar pernah menjadi PNS di Departemen Penerangan namun karena merasa kebebasannya terkungkung dalam menulis yang lebih memilih menjadi wartawan bebas ketika tidak lagi memenang koran.

Tokoh ini lahir dari seorang bapak yang bekerja sebagai juru mudi kapal. Pendidikan formal hanya di HIS selama 3,5 tahun. Ia putera pertama dari delapan bersaudara dari Dahlan dan Kamaraiah. Ayahnya yang menahkodai kapal dagang milik Jepang Mudjimaru, sebuah kapal peninggalan Belanda (sebelumnya bernama "Andries").

Saat perang dunia II masih bekecamuk di kawasan Pasifik, kapal itu menjadi "korban", tenggelam bersama seluruh awaknya akibat hantaman peluru terpedo tentara Australia di Laut Sulawesi saat berlayar dari Berau ke Tarakan karena menyangka itu milik angkatan laut tentara Jepang. "Sejarah tidak mencatat hal itu, padahal ini bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan di Kaltim," katanya.

Dari lima anaknya dan tujuh cucu, ternyata tidak ada yang mengikuti jejaknya jadi wartawan. "Mungkin nanti ada keturunan yang mengikuti, saya sendiri hanya anak seorang nahkoda kapal". Mungkin suatu saat nanti akan ada lagi Oemar-Oemar yang lain yang berjuang melalui penanya untuk mengkritisi berbagai masalah sosial di alam kemerdekaan.