Jumat, 05 September 2008

BILA ORANGUTAN DAN ORANG BERSAING

Saat melintasi Taman Nasional Kutai (TNK) di Kabupaten Kutai Timur (Kaltim) akan terlihat beberapa menara pengintai api menandakan kawasan itu rawan kebakaran.

Menara api terbuat dari kayu ulin itu seperti sebuah monumen tua yang menggambarkan bahwa di kawasan itu terdapat sebuah "warisan dunia yang terlupakan". TNK meniliki berbagai kelebihan/keunikan karena merupakan hamparan hutan damar yang konon terluas di dunia, bahkan ada yang menyebut kawasan seluas 198.00 Ha itu sebagai "benteng terakhir hutan hujan tropis dataran rendah" di Kaltim.

TNK menjadi "warisan dunia" selain sebagai kawasan hutan kayu damar terluas di dunia. Juga beragam potensi flora dengan jumlah mencapai 958 jenis.

Misalnya, di kawasan itu terdapat pula tumbuhan gaharu (Aquilaria sp.), kantong semar (Nepenthes mirabilis), dan anggrek (Orchidaceae) yang berada di dalamnya, merupakan flora yang semakin langka.

Kawasan itu "menjadi rumah" sekitar 80 persen dari seluruh jenis burung di Borneo, dan lebih 80 jenis mamalia Borneo termasuk orangutan (Pongo pygmaeus).

Di dalam kawasan yang masih berhutan bagus berkeliaran kelompok primata seperti orangutan (Pongo satyrus), owa kalimantan (Hylobates muelleri), bekantan (Nasalis larvatus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis fascicularis), beruk (M. nemestrina nemestrina), dan kukang (Nyticebus coucang borneanus), untuk kelompok ini dapat dijumpai di Teluk Kaba, Prevab-Mentoko dan Sangkimah.

TNK juga menjadi habitat dari kelompok ungulata seperti banteng (Bos javanicus lowi), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), dan kancil (Tragulus javanicus klossi). Kelompok ini dapat dijumpai di seluruh kawasan Taman Nasional Kutai.

Selain itu, terdapat beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus) bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), pergam raja atau hijau (Ducula aenea), ayam hutan (Gallus sp), beo atau tiong emas (Gracula religiosa), dan pecuk ular asia (Anhinga melanogaster melanogaster).

Saat memanjat menara pengintai api itu, maka terlihat pemandangan cukup "mengenaskan" karena tampak hamparan semak belukar, kebun warga serta beberapa bagian lahan gundul kehitaman karena pembukaan lahan dengan sistem pembakaran.

Setiap musim kemarau, para peladang berlomba-lomba membuka lahan dengan sistem pembakaran. Jangan heran, kawasan itu sangat rawan mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan. Diperkirakan, sebagian peladang tidak bisa mengendalikan rambahan api dari pembakaran lahan sehingga meluas menjadi kebakaran hutan dan lahan.

Pakar kehutanan pernah menyatakan bahwa salah satu faktor dominan penyebab kebakaran hutan adalah karena ulah manusia. Fenomena alam seperti El Nino yang menyebabkan terjadinya kemarau ekstrim tidak memiliki "pemetik api" --meskipun ada sebagian kecil karena alam-- misalnya gesekan ranting pohon namun sebagian besar akibat ulah manusia.

Pembukaan lahan baik untuk perladangan serta pemukiman di TNK kini kian hari kian menjadi-jadi tanpa ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menghentikannya. Balai TNK pernah kewalahan menghadapi sekitar 700 warga telah merambah kawasan yang terletak di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur.

Warga yang diduga berasal dari Kutai Barat, Samarinda dan Kutai Kartanegara itu telah merambah kawasan yang diperkirakan mencapai 600 hektare. Mitra TNK yang terdiri dari sejumlah perusahaan perkayuan, Migas dan batu bara sebelumnya sempat membangun pagar besi sebagai pembatas namun kini sudah tidak terlihat lagi.

Padahal selain pagar, Balai TNK bersama mitranya sudah melakukan berbagai program untuk merehabilitasi dan mereboisasi kawasan di pinggir jalan raya yang gundul itu. Para perambah sepertinya tidak perduli dan tetap membabat pohon penghijauan dan reboisasi untuk merabilitasi lahan-lahan kritis pada pinggir jalan.

Keberadaan kawasan konservasi itu sebenarnya sudah ditetapkan sejak zaman Kesultanan Kutai, dilanjutkan sampai sekarang sesuai SK. Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 dengan luas 200.000 Ha yang dilanjutkan dengan SK Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 menjadi 198.629 Ha.

Kerusakan kian menjadi-jadi saat terjadinya otonomi daerah pada 2000 yang berlanjut sampai kini. Bahkan, untuk satu tahun terakhir diperkirakan beban TNK kian berat menghadapi ulah para perambah dan peladang yang masuk ke kawasan itu.

Balai TNK sering mengaku kewalahan menghadapi para perambah dan peladang tersebut karena jumlah personil terbatas sementara jumlah peladang terus bertambah.

Sampai 2004 kebakaran akibat kelalaian manusia telah merusak sekitar 146.080 hektare atau 80 persen dari luas kawasan itu. Kerusakan itu diperparah lagi oleh pembalakan liar dan perambahan, terbukti selama 2001-2004, jumlah kubikasi kayu ilegal yang telah disita mencapai 246.082 meter kubik (M3).

Selama 2008, aktifitas perambahan kian menjadi-jadi, hanya berdasarkan "pengakuan sepihak" oleh sekelompok masyarakat, maka dengan mudah keluar istilah "hak ulayat", "hak adat" sampai surat-surat kepemilikan yang tidak jelas lagi dari mana keluar serta keabsahannya.

Kerugian negara selama 2001-2004 diperkirakan hampir Rp300 miliar dengan perhitungan kurs dolar AS saat itu sekitar Rp 8.500. Data ini belum termasuk kasus pada 2007 dan 2008.

Namun dengan terus terjadinya pembabatan hutan, pembukaan lahan untuk ladang dan pemukiman serta bencana kebakaran hutan dan lahan pada setiap musim kemarau, maka satwa langka itu kini kian terancam punah.

Satwa langka itu kian terdesak, lihat saja sempat terjadi beberapa kasus orangutan ke luar dari "rumahnya" untuk menjarah kebun-kebun penduduk karena hutan tidak lagi menyediakan makanan bagi mereka akibat rambahan peladang serta bencana kebakaran.

Kadang-kala, warga yang melintasi Jalan Lintas Kalimantan di Kaltim pada poros utara, yakni sekitar Wahau yang menghubungkan Kutai Timur dan Kabupaten Berau sering bersua dengan orangutan karena menjarah kebun-kebun para peladang yang bermukim di dalam TNK.

"Ngapain mikir orangutan, mending mikir orang betulan yang kini banyak hidup susah," pemikiran pejabat-pejabat di Kutai Timur sepertinya menjadi pembenaran sehingga sampai kini belum ada tindakan nyata bagi perambah kawasan konservasi itu.

Agaknya kurang pantas menyetarakan "orangutan" dengan "orang". Manusia dikarunai akal (seharusnya dimanfaatkan demi kebaikan makhluk yang lain), sedangkan orangutan kian merana karena tidak tahu harus mengadu dengan siapa.

Padahal saat ekosistem terganggu, maka manusia sendiri akan menerima akibatnya, misalnya banjir dan kebakaran hutan/lahan yang kian kerap melanda daerah itu, secara global kerusakan hutan tentu membawa pemanasan global akibat kerusakan paru-paru bumi itu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Halo met kenal! Blognya bagus neh:-). Kunjungi blog kami ya.
Tara FM